Senin, 07 Desember 2009

lInTaNg

Catatan Kelam Sang Bintang Goyang

Siapa tak kenal Lintang?

Pesonanya mampu membius ribuan laki-laki yang dimabuk alunan suaranya. Bintang panggung yang masih duduk kelas dua SMA itu mampu meraup banyak perhatian. Bukan dengan goyangan seronoknya. Juga tidak dengan senyum dan kerling mata menggoda. Magnet itu muncul lantaran gayanya yang lebih sopan dan goyang yang sewajarnya. Aura bernama keluguan dan kemudaan itulah yang menjadiakan dia begitu bersinar di tengah aroma mesum penyanyi lainnya.

Tak heran magnet itu telah menyedot seorang laki-laki beristri untuk melamar Lintang. Kukuh, laki-laki itu, yang seorang pecundang dan hidup dalam bayang-bayang harta isterinya berniat meminang si ratu pentas dengan beragam alasan. Apa daya, Lintang menolak pinangan itu. Tapi seperti namanya, laki-laki itu tetap bersikukuh ingin mendapatkannya.

Bantuan yang menjadi awal bencana muncul dari ibu kandung Lintang. Wanita yang sangat materialistis dan begitu percaya dengan dunia klenik itu berniat menjual anaknya untuk disetubuhi Kukuh dalam kondisi tidak sadar. Dengan harapan setelah diperkosa, Lintang akan hamil dan kemudian dia tidak mempunyai pilihan lagi selain menerima pinangan Kukuh yang datang laksana juru selamat.

Awalnya, skenario yang dirancang memang berjalan mulus. Namun, muncullah isteri Kukuh yang kemudian merusak rencana indah mereka. Ya persengkokolan yang terbongkar itu benar-benar menghancurkan hati Lintang. Dia kabur dan terlunta-lunta saat hamil tua.

***

Inilah penggalan novel Lintang Gumebyar yang menggambarkan kehidupan marjinal dari sang bintang dangdut. Novel ini dimulai dengan adegan panggung yang panas hingga menyisakan fragmen nyata seusai pentas.

Simaklah paparan si penulis yang laksana reporter melaporkan pandangan mata dari balik layar usai pentas berlangsung. Tentang penyanyi yang berganti baju, kru yang sibuk menata alat musiknya, pedagang malam yang asyik menghitung rezeki, dan penonton yang mulai bubar, sebagian masih tergolek di rumput basah lantaran mabuk.

Sangat menawan pengambarannya. Mengingatkan saya pada adegan di balik tobong-nya Bre Redana dalam Urban Sensation. Atau malah mengingatkan pada masa lalu ketika saya sering nonton dangdutan bersama teman-teman di lapangan Brimob atau Pragola Pati. Demikian juga gemulai dan pesona Lintang mendadak mengingatkan saya pada tokoh ronggeng Srintil yang dilukiskan begitu nyata oleh Ahmad Tohari.

Menilik dari segi tema, barangkali cerita yang diusung oleh Indarpati – penulis novel ini – tergolong sederhana. Atau bahkan cenderung klise. Tapi kekuatan bercerita sang penulis ini mampu mengubah situasi sederhana itu menjadi tidak biasa. Justru kesederhanaan cerita itulah yang membuat novel ini menjadi luar biasa. Ingat Seribu Kunang-Kunang di Manhattan-nya Umar Kayam? Bukankah perbincangan sederhana tentang masalah remeh temeh mampu menciptakan karya yang menawan?

Sisi kelam penyanyi dangdut memang sering ditemukan dalam berbagai kisah. Tapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke ranah sastra secara memukau. Indarpati telah mengulik sisi hidup biduanita ini hingga mampu terapresiasi secara sastra tanpa terjebak pada visualisasi vulgar dan eksploitasi seksualitas yang berlebihan.

Berdasarkan pengakuan si penulis, dia memang tak mau ikut tren dengan genre pengarang wanita yang gemar mengulik sisi sensualitas kaumnya. Tengoklah penulis perempuan seperti Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu. Mereka begitu menyentak publik dengan visualisasi vulgar tentang kekelaminan.

Di sisi lain, Indar pun bukan pengarang yang mengusung nilai-nilai religiusitas dan keagamaan secara berlebihan meskipun latar belakang kepenulisannya berasal dari media Islam yang cukup kental. Bagi saya, dia mampu menempatkan diri pada posisi yang netral di garis tengah.

Jika dicermati, mungkin karena naluri kewanitaannya yang membuat cerita dalam novel ini lebih sarat konflik batin dibandingkan pertentangan nyata. Bagi pembaca yang gemar situasi thriller penuh ketegangan, pasti menganggap novel ini datar-datar saja. Adegan konflik hanya muncul sesekali dan yang paling menguras emosi adalah ketika Lintang dijual ibunya untuk “diperkosa” Kukuh. Selebihnya hanya adegan pertentangan biasa.

Tapi justru kekuatan si penulis terletak pada pemaparan batin para tokohnya. Konflik batin yang tergarap rapi dan rasional menjadi novel ini enak dinikmati. Apalagi sang penulis mampu menghadirkan barisan kata-kata indah yang tak biasa demi menggambarkan suasana hati sang tokoh seperti rangkaian kata berikut.

“Masih pantaskah bila asa itu kugantung jauh di langit tinggi… Ataukah berdamai dengan bumi dan cukuplah menjadi kunang-kunang di malam hari?”

Dalam novel seperti ini, ending memang menjadi sesuatu yang ditunggu oleh pembaca. Dan secara cerdik Indar mampu memberikan masing-masing tokoh garis nasib sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat. Tentunya tanpa terkesan menghakimi.

Cerita ini memang berakhir sesuai keinginan pembaca, tapi tidak terjebak ending ala Hollywood dengan kalimat klise, “…dan mereka hidup berbahagia untuk selama-lamanya…” Akhir novel ini tetaplah mencipta tanya yang harus diselesaikan pembaca.

Meski demikian, agak disayangkan bahwa novel ini tidak menggali beberapa sisi yang sebenarnya sangat menarik untuk ditampilkan. Bayangkan jika sang penulis mampu menggali lebih dalam sisi kehidupan supranatural sang ibu Lintang. Atau kehidupan kaum paranormal di kota Pati. Tentunya akan membuat karya ini jauh lebih hebat.

Memang, untuk itu dibutuhkan riset mendalam. Namun, hal seperti inilah yang membuat kita terkagum-kagum dengan Ayu Utami yang bisa menggambarkan detil kehidupan di rig penambangan minyak lepas pantai dalam novel fenomenalnya – Saman. Atau dengan Romo Mangun yang memaparkan informasi lengkap tentang kehidupan anak-anak tangsi di Burung-Burung Manyar.

Apalagi setting cerita yang diambil Indar termasuk langka. Setahu saya, jarang sekali sastrawan yang bercerita dengan latar belakang kota Pati – sebuah kabupaten kecil di pesisir utara Jawa. Tentunya, dengan kehidupan supranatural yang bisa berdampingan dengan kaum agamawan, ini bisa menjadi fenomena tersendiri.

Hal lainnya yang mungkin bisa dimaksimalkan adalah jika penulis dapat mengambil situasi nyata sebagai bagian cerita. Bercermin dari novel sastra seperti Tetralogi Pulau Buru-nya Paramoedya yang begitu kental membawa nafas pergerakan nasional hingga membuat kita berimajinasi bahwa novel tersebut adalah sebuah kisah nyata. Atau novel Larung-nya Ayu Utami yang menggambarkan aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik yang diburu ABRI usai insiden 27 Juli 1996. Situasi riil inilah yang mampu menghidupkan suasana hingga si pembaca seolah begitu dekat dengan peristiwa novel itu.

Alangkah luar biasa jika Indar mampu memadukan kejadian di novel ini dengan peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti bencana Lapindo di Sidoarjo atau perburuan para teroris peledakan bom.

***

Indarpati atau Indarwati. Saya memanggilnya dengan sapaan Indar dan mengenalnya dua puluh satu tahun lampau ketika kami sama-sama bersekolah di SMP Negeri 3 Pati.

Indar yang saya kenal adalah seorang yang sederhana, punya keinginan keras, cerdas, dan tomboy. Saking tomboynya, pernah dalam suatu lomba matematika di Semarang, di mana saya satu regu dengannya, seorang ibu teman mengira dia cowok setelah melihat fotonya. “Bud, kok foto kamu lebih ‘cewek’ dibanding dia,” selorohnya. Sialan!

Kehidupan sederhana memang sudah menjadi bagian hari-harinya. Dan ketertarikannya pada dunia menulis memang sudah terlihat sejak awal saya mengenalnya. Seingat saya, waktu itu dia pernah menyumbangkan beberapa buah cerita pendek di Majalah Dinding kelas yang saat itu kami kelola. Sungguh, saya bersyukur karena saat ini dia bisa eksis di dunia kepenulisan, sementara saya justru memilih dunia IT sebagai pilihan hidup.

Kekerasan lingkungan memang telah membantuk karakter Indar. Di novel ini saya begitu terkesan dengan beberapa pemikiran kesetaraan gender yang dikemukakannya. Tampak dia masih konsisten dengan berbagai pemikiran emansipasi. Saya masih ingat ketika dia begitu benci dipanggil “nduk” oleh ayah seorang teman yang terkesan merendahkan.

Tak lepas, dalam novel ini beberapa pemikiran feminis memang menyeruak begitu nyata. Terlihat di halaman 243, saat dia mengemukakan sebuah paragraf pembelaan kaum wanita. “Adalah benar Hawa yang merayu menikmati khuldi. Namun jikalau Adam sebagai lelaki teguh dalam perintah Tuhan, mereka takkan terusir dari Surga selamanya. Namun rupanya kaumnya (kaum lelaki) sangat bebal. Tak mampu berkaca pada sejarah dan mengambil saripatinya. Bahkan mengulang kesalahan sama.”

Ya, inilah sebuah jawaban ditengah dominasi dunia yang begitu maskulin.

Indarpati. Barangkali adalah nama baru dalam jagat penulisan novel. Tapi sumbangan karya ini memang sangat berarti, terutama bagi pembaca yang pernah merasakan dan merindukan atmosfer Pati. Atau paling tidak, Anda yang ingin menyambangi kota kecil di pesisir utara Jawa Tengah.

Rasakanlah aroma kemaraunya, panas siangnya, dan geletar nadi kehidupan warganya. Cobalah susuri jalan protokolnya dan hiruplah keramaian alun-alunnya…

Ah, mendadak saya jadi rindu untuk pulang lebaran ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
i'M tRoUbLe mAkEr Design by: Yanmie at Permata Hatiku